Kamis, 21 Juli 2011

ELANG

Di sebuah lereng bukit teronggok sarang burung elang. Di sarang itu ada tiga bitir telur yang sedang dierami induknya.

Suatu hari terjadi goncangan kecil. Tapi cukup membuat telur-telur itu berubah posisi. Ada satu yang jatuh menggelinding ke bawah. Sang induk elang tak menyadari hal itu.

Untunglah telur yang jatuh itu cukup kuat. Telur itu terus menggelinding hingga kemudian masuk ke dalam sangakr ayam. Bergabung dengan telur-telur ayam yang sedang dierami. Induk ayam pun tak sadar bahwa ada “imigran gelap” yang menyusup ke sarangnya.

Beberapa saat kemudian menetaslah telur-telur itu. Termasuk telur elang. Keluarlah seekor anak elang yang gagah. Makhluk kecil ini tentu saja berbeda dengan anak-anak ayam yang lain. Tapi, induk ayam tak ambil peduli. Begitu juga anggota keluarga ayam lainnya.

Anak elang itu pun tumbuh dan berkembang bersama anak-anak ayam. Lingkungannya lingkungan ayam. Budayanya budaya ayam. Si elang kecil itu percaya bahwa ia adalah seekor anak ayam. Ia juga mencintai sangkar dan induk ayam.

Namun, suatu ketika melihat di angkasa raya ada beberapa elang besar sedang terbang merentangkan sayapnya. Indah. Gagah. Berwibawa. Si anak elang kagum atas apa yang dilihatnya. Tanpa sadar ia berkata “ “Oh, andai saja aku bisa terbang seperti burung-burung gagah itu!”.

Anak-anak ayam lain mendengar. Mereka tertawa mencericit.

“Ha ha ha ….. Kamu tidak akan bisa terbang seperti mereka,” tukas seekor anak ayam bernada ejekan.

“Kita ini ayam. Ayam tidak bisa terbang, tahu!” kata anak ayam yang lain.

Tawa anal-anak ayam itu meledak. Suaranya memenuhi telinga si elang kecil.

Terpojok. Diam. Tertunduk. Elang kecil itu kembali mendongak, menatap nanar langit.”Oh, andai saja …” kalimatnya terputus.

Kasihan. Elang kecil itu tidak tahu bahwa yang di atas sana adalah keluarganya yang sejati. Ia Elang, bukan ayam. Tapi, setiap kali mengungkapkannya ingin bisa terbang. Si anak elang selalu dinasehati itu hal mustahil untuk dilakukan. Terus menerus keluarga ayam mengatakan hal itu. Masyarakat ayam pun mengajari si Elang bahwa ia tidak mungkin mengepakan sayap di angkasa

Waktu pun terus bergulir. Si Elang berhenti bermimpi. Tak tahan menerima penolakan lingkungannya. Ia melanjutkan hidup sebagai ayam. Ia menjalani dengan perasaan menderita. Si Elang pun mati dengan memenjara impian besarnya.

Teman, kisah di atas hanyalah sebuah amsal tentang harapan dan impian kehidupan. Begitu banyak asa dan hasrat harus pupus karena hilangnya rasa percaya dalam kalbu. Hilang karena tak percaya dengan semua kemampuannya yang kita miliki.

Teman, kita adalah Elang kecil itu. Kita Elang kecil yang lahir dalam buaian. Padahal kita adalah manusia-manusia hebat yang sarat potensi. Allah menjamin hal itu. Tapi saying, seringkali rasa percaya diri kita begitu kecil. Kita tidak yakin bahwa kita mampu. Kita tidak yakin bahwa kita bisa.

Teman, siapapun kita, yakinlah, selalu ada kelebihan yang Allah berikan pada kita. Jangan tutupi kelebihan itu dengan kabut ketakutan yang pekat. Jangan biarkan kabut itu menutupi cahaya yang diberi-Nya. Kita bisa menjadi apa yang kita percayai. Saat kita bermimpi menjadi “elang”, genggamlah impian impian tadi. Abaikan nasihat “ayam-ayam” itu. Karena, siapa tahu kita memang “elang” harus mengepakkan sayap di angkasa.

Jadi, biarkan harapan-harapan itu terpancang menjulang setinggi langit. Allah Maha Tahu yang terbaik buat hamba-Nya. Dia selalu punya rahasia untuk membuktikannya. Nah, teman selamat mencoba. Allah menyertaimu.(AK 2008)

2 komentar:

  1. update atuh pak blognya ,,biar tar anak2 sejarah bisa kumpul dimarii,di share dah ,,ya pak hehe

    BalasHapus
  2. btl dah lm sy gak update blog ini, thanks masukannya

    BalasHapus