Selasa, 27 Desember 2011
Kedudukan, Fungsi dan Kelembagaan Pers di masa Pergerakan Nasional
Kamis, 21 Juli 2011
ELANG
Di sebuah lereng bukit teronggok sarang burung elang. Di sarang itu ada tiga bitir telur yang sedang dierami induknya.
Suatu hari terjadi goncangan kecil. Tapi cukup membuat telur-telur itu berubah posisi. Ada satu yang jatuh menggelinding ke bawah. Sang induk elang tak menyadari hal itu.
Untunglah telur yang jatuh itu cukup kuat. Telur itu terus menggelinding hingga kemudian masuk ke dalam sangakr ayam. Bergabung dengan telur-telur ayam yang sedang dierami. Induk ayam pun tak sadar bahwa ada “imigran gelap” yang menyusup ke sarangnya.
Beberapa saat kemudian menetaslah telur-telur itu. Termasuk telur elang. Keluarlah seekor anak elang yang gagah. Makhluk kecil ini tentu saja berbeda dengan anak-anak ayam yang lain. Tapi, induk ayam tak ambil peduli. Begitu juga anggota keluarga ayam lainnya.
Anak elang itu pun tumbuh dan berkembang bersama anak-anak ayam. Lingkungannya lingkungan ayam. Budayanya budaya ayam. Si elang kecil itu percaya bahwa ia adalah seekor anak ayam. Ia juga mencintai sangkar dan induk ayam.
Namun, suatu ketika melihat di angkasa raya ada beberapa elang besar sedang terbang merentangkan sayapnya. Indah. Gagah. Berwibawa. Si anak elang kagum atas apa yang dilihatnya. Tanpa sadar ia berkata “ “Oh, andai saja aku bisa terbang seperti burung-burung gagah itu!”.
Anak-anak ayam lain mendengar. Mereka tertawa mencericit.
“Ha ha ha ….. Kamu tidak akan bisa terbang seperti mereka,” tukas seekor anak ayam bernada ejekan.
“Kita ini ayam. Ayam tidak bisa terbang, tahu!” kata anak ayam yang lain.
Tawa anal-anak ayam itu meledak. Suaranya memenuhi telinga si elang kecil.
Terpojok. Diam. Tertunduk. Elang kecil itu kembali mendongak, menatap nanar langit.”Oh, andai saja …” kalimatnya terputus.
Kasihan. Elang kecil itu tidak tahu bahwa yang di atas sana adalah keluarganya yang sejati. Ia Elang, bukan ayam. Tapi, setiap kali mengungkapkannya ingin bisa terbang. Si anak elang selalu dinasehati itu hal mustahil untuk dilakukan. Terus menerus keluarga ayam mengatakan hal itu. Masyarakat ayam pun mengajari si Elang bahwa ia tidak mungkin mengepakan sayap di angkasa
Waktu pun terus bergulir. Si Elang berhenti bermimpi. Tak tahan menerima penolakan lingkungannya. Ia melanjutkan hidup sebagai ayam. Ia menjalani dengan perasaan menderita. Si Elang pun mati dengan memenjara impian besarnya.
Teman, kisah di atas hanyalah sebuah amsal tentang harapan dan impian kehidupan. Begitu banyak asa dan hasrat harus pupus karena hilangnya rasa percaya dalam kalbu. Hilang karena tak percaya dengan semua kemampuannya yang kita miliki.
Teman, kita adalah Elang kecil itu. Kita Elang kecil yang lahir dalam buaian. Padahal kita adalah manusia-manusia hebat yang sarat potensi. Allah menjamin hal itu. Tapi saying, seringkali rasa percaya diri kita begitu kecil. Kita tidak yakin bahwa kita mampu. Kita tidak yakin bahwa kita bisa.
Teman, siapapun kita, yakinlah, selalu ada kelebihan yang Allah berikan pada kita. Jangan tutupi kelebihan itu dengan kabut ketakutan yang pekat. Jangan biarkan kabut itu menutupi cahaya yang diberi-Nya. Kita bisa menjadi apa yang kita percayai. Saat kita bermimpi menjadi “elang”, genggamlah impian impian tadi. Abaikan nasihat “ayam-ayam” itu. Karena, siapa tahu kita memang “elang” harus mengepakkan sayap di angkasa.
Jadi, biarkan harapan-harapan itu terpancang menjulang setinggi langit. Allah Maha Tahu yang terbaik buat hamba-Nya. Dia selalu punya rahasia untuk membuktikannya. Nah, teman selamat mencoba. Allah menyertaimu.(AK 2008)
Selasa, 22 Maret 2011
Pengaruh Angin sehingga Menjadikan Selat Malaka Sebagai Pintu Gerbang Dunia
Bagian laut yang memisahkan Pulau Sumatera dengan Jasirah Malaka yang sebenarnya adalah bagian dari daratan Asia, terkenal dengan nama Selat Malaka. Bentuk Selat itu menyerupai corong atau terompet yang membujur dari arah barat laut ke tenggara. Di bagian barat laut Selat Malaka mempunyai ukuran yang lebar, seperti mulut sebuah corong. Makin ke arah tenggara, makin menyempit dan pada ujungnya hanya selebar seperlima dari corongnya. Selat Malaka itu panjang tetapi tidak dalam, sekitar 40 meter dalamnya.
Dalam rangka perdagangan dunia, pada jaman dahulu para pelayar sudah mengenal Selat Malaka. Sejak kapan Selat Malaka mulai digunakan untuk pelayaran tidak dapat diketahui dengan pasti. Arus perpindahan bangsa-bangsa pada jaman pra-sejarah dari daratan Asia Tenggara di Indonesia dan sebaliknya niscaya melewati Selat Malaka. Demikian pula pelaut-pelaut bangsa Indonesia dalam pelayarannya ke Madagaskar akan menggunakan jalur Selat Malaka. Sampai seberapa jauh Selat Malaka disebut-sebut dalam literatur dunia pelayaran pada jaman dahulu, belum dapat diketahui dengan mantap.
Pada jaman sekarang selat Malaka ramai dilayari kapal dan perahu. Sejak jaman dahulu pun Selat Malaka sudah dilayari kapal, tetapi jumlahnya tentu tidak sebanyak sekarang. Bagi dunia pelayaran di Indonesia pada jaman pra-sejarah itu, faktor angin memegang peranan menentukan. Bangsa Indonesia sejak dahulu sudah menyadari pentingnya angin bagi kehidupan maritim. Di dalam khasanah bahasa Indonesia terdapat cukup banyak istilah yang berkenaan dengan angin yang mempunyai hubungan langsung dengan kehidupan pelayaran seperti angin buritan, angin haluan, angin turutan, angin sakal, angin paksa, angin ekor burung, angin timba ruang, angin darat, angin laut, dan sebagainya. Demikian pula terdapat istilah negeri "di atas angin", yang dimaksudkan ialah India, Iran, Arab, Eropa, dan Magribi; sedangkan negara-negara yang terletak di sebelah timur Indonesia dinamakan negara-negara "di bawah angin".
Kemudian letak Indonesia di antara Australia dan Asia mempunyai pengaruh besar terhadap sistem angin. Pergantian musim di salah satu benua akan mempunyai akibat yang besar mengenai jalannya angin. Apabila di Asia dan Eropa datang musim dingin pada bulan Desember sampai Februari, maka akan berembus angin barat ke arah timur, karena benua Australia yang bermusim panas itu tekanan udaranya menjadi berkurang. Sebaliknya apabila musim dingin di Australia, maka berembus angin-timur ke arah barat, karena tekanan udara di Asia dan Eropa menjadi berkurang akibat musim panas di sana. Di Indonesia karena itu tiap setengah tahun terjadi pergantian musim dengan perubahan arah angin. Kesemuanya ini sebagai akibat dari pergeseran matahari yang di dalam waktu satu tahun bergerak di antara 23 1/2 0 Lintang Utara dan Lintang Selatan, karena adanya revolusi dan rotasi pada bumi.
Sejak dahulu para pelaut sudah mengenal perubahan angin musim di sekitar Selat Malaka itu. Dalam bulan Oktober kapal-kapal mulai diberangkatkan dari pelabuhan-pelabuhan di Maluku menuju arah barat seperti : Ujungpandang, Gresik, Demak, Banten dan Malaka. Sedangkan pada bulan Maret kapal-kapal mulai berlayar ke arah timur.
Pada bulan Juni sampai Agustus di Laut Cina Selatan bertiup angin ke utara. Karena itu kapal-kapal mulai bergerak dari Malaka ke pelabuhan-pelabuhan di sebelah utara seperti Ayuthia, Campa, dan Cina. Mulai bulan September arah angin makin menjurus ke selatan, dan pada bulan itu pula kapal-kapal diberangkatkan menuju selatan, pulang ke Malaka lagi.
Dengan adanya sistem angin musim yang berganti tiap enam bulan itu, maka kepulauan Indonesia, terutama bagian baratnya dengan Selat Malaka sebagai intinya mempunyai kedudukan yang istimewa. Justru di Selat Malaka inilah tempat bertemunya kapal-kapal, karena itu tidak perlu diherankan mengapa di tepi Selat Malaka itu berdiri bandar-bandar, yang menjadi pusat perdagangan internasional. Posisi geografis ini mendatangkan keuntungan bagi masyarakat sekitarnya dan mempunyai akibat yang baik untuk perkembangan perdagangan dan lalu lintas melalui laut.
Di Malaka kapal-kapal dari berbagai penjuru datang berkumpul sambil menunggu angin yang baik untuk memulai perjalanan ataupun berlayar pulang ke negara asal. Mula-mula kota Malaka hanya merupakan salah satu bandar di antara bandar-bandar di tepi pantai itu. Baru setelah berkembang beberapa waktu, sejak sekitar tahun 1400, kota Malaka tumbuh menjadi bandar terpenting dan pusat kerajaan.
Pengetahuan tentang angin musim barat dan angin musim timur di Indonesia rupanya sudah lebih dahulu diketahui oleh para pelaut. Karena itu hubungan pelayaran melalui Selat Malaka ke arah barat, yaitu ke India, Persia, dan Timur Tengah, sudah ada lebih dahulu daripada hubungan ke utara, yaitu dengan negara Cina. Rupanya jalan pelayaran ke Cina dari Selat Malaka lebih kemudian diketahui. Hal ini juga disebabkan karena komunikasi perdagangan Cina dengan dunia luar, terutama dengan dunia Barat dahulu lebih banyak melalui daratan daripada melalui lautan.
Pada abad-abad kemudian, orang makin yakin perlunya dan pentingnya peranan Selat Malaka. Para pengusaha baik dari Indonesia, maupun luar seperti orang Barat, sudah sadar, bahwa barang siapa menguasai Selat Malaka akan mempunyai peluang yang besar untuk menguasai jalan pelayaran internasional. yang terbentang dari Venesia di Barat hingga Maluku di Timur.
(AK-dari berbagai sumber)