Kamis, 03 Desember 2009

SEJARAH ETNIS CINA (TIONGHOA) DI INDONESIA

Keberadaan Etnis Cina (Tionghoa) pada saat ini di Indonesia, jelas sekali peranannya yang hampir menguasai sector ekonomi negara kita. Untuk mencapai hal tersebut jelas adalah suatu perjuangan panjang bagi mereka.
Sejarah panjang keberadaan mereka di Indonesia berawal pada masa kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman kalimantan, atau Kabupaten Kutai, yang daerahnya kaya akan hasil tambang emas itulah mereka dibutuhkan sebagai pandai perhiasan (Emas).
Karena kebutuhan akan pandai emas semakin meningkat, maka didatangkan eamas dari cina daratan, disamping itu ikut dalam kelompok tersebut adalah para pekerja pembuat bangunan dan perdagangan. Mereka bermukim menyebar mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak dan daerah sekitarnya.
Gelombang kedua kedatangan Etnis Cina (Tionghoa) ke Indonesia ialah pada masa kerajaan Singasari di daerah Malaka Jawa Timur sekarang. Kedatangan mereka dibawah armada tentara laut Khubilaikan atau juga sering disebut sebagai Jhengiskan dalam rangka ekspansi wilayah kekuasaannya. Namun utusan yang pertama ini tidaklah langsung menetap, hal ini diakrenakan ditolaknya utusan tersebut oleh Raja.
Pada Ekspedisi yang kedua tentara laut Khubilaikan ke-tanah Jawa dengan tujuan membalas perlakuan raja Singasari terhadap utusan mereka terdahulu, namun mereka sudah tidak menjumpai lagi kerajaan tersebut, dan akhirnya mendarat di sebuah pantai yang mereka beri nama Loa sam (sekarang Lasem) sebagai armada mereka menyusuri pantai dan mendarat disuatu tempat yang Sam Toa Lang Yang kemudian menjadi Semarang. Masyarakat etnis Cina ini kemudian mendirikan sebuah tempat ibadat (Kelenteng) yang masih dapat dilihat sampai masa sekarang.
Karena runtuhnya Singasarai dan Majapahit, serta munculnya kerajaan baru yaitu Demak sebagai sebuah kerajaan Islam, maka keberadaan Etnis Cina ini dipakai sekutu Demak di dalam rangka menguasai tanah Jawa dan penyebaran agama Islam. Hal itu dimungkinkan karena panglima armada laut yang mendarat di Semarang, seoarang yang beragama islam, yaitu Cheng Ho.
Mereka kemudian diberi wewenang untuk menjalankan Bandar atau pelabuhan laut di Semarang dan Lasem. Hal ini oleh Demak dimaksudkan untuk melumpuhkan Bandar-bandar laut yang lain, yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti bandar laut Tuban dan Gresik.
Berawal dari sanalah kemudian etnis Cina ini menyebar ke seluruh daratan Indonesia dan juga ditambah pendatang baru yang langsung ke daerah-daerah di pelosok nusantara.
Melihat perjalanan panjang kebersamaan mereka tersebut di tanah air, masihkah kita mempertanyakan dan menyangsikan mereka. Atau karena keuletan dan kegigihan mereka yang membuat sekarang menjadi Eksis terutama di dalam bidang perekonomian kita. Hal ini berpulang kepada kita, dalam cara memandang mereka. Akankah kita terus berkutat dengan perasaan miring kepada mereka, atau kita bangkit dan bersaing dengan mereka. Hal tersebut sekali lagi berpulang pada kita semua, dan perlu diingat bahwa mereka yang ada saat ini adalah merupakan keturunan yang kesekian kali dari nenek moyang mereka yang pertama kali datang.
( dari berbagai sumber-AK )

Selasa, 15 September 2009

Memetik Manfaat dari Kritik

Banyak di antara kita menjadi jengkel hingga marah ketika dikritik. Kita menganggap kritik sebagai bentuk campur tangan terhadap urusan kita. Lebih gawat, ada yang karena kritik menjadi kehilangan rasa percaya diri atau tak mampu melakukan hal-hal dengan benar.

Sebenarnya itu semua tak perlu terjadi. Bila dicermati, kritik biasanya datang dari orang-orang dekat. Misalnya suami, istri, orang tua, atau teman. Mereka umumnya memiliki kepedulian pada kita sehingga tidak akan menjerumuskan. Kita mestinya juga sadar bahwa setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Adanya kritik justru mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan lagi. Jika kesalahan sudah terjadi, kritik dapat membantu kita untuk segera memperbaiki dampak buruk yang ditimbulkan dari kesalahan tadi.
Kritik pun bisa kita jadikan cermin. Dalam banyak hal, kita tidak bisa melihat diri kita sendiri. Bahkan yang bersifat fisik. Seperti noda di wajah, kerah baju terlipat, dan lain-lainnya. Sebaliknya orang lain bisa melihatnya. Karena itu kita membutuhkan kritik. Bahkan, orang bijak pun membutuhkan kritik untuk bisa terus menerus memperbaiki diri.

Ketika menerima kritik, kita perlu memperhatikan, apakah ada pujian atau sisi positif yang disampaikan si pengkritik. Kita tidak perlu memfokuskan perhatian pada rasa sakit ketika dikritik. Sebaliknya, kita tidak usah terlalu senang karena dipuji.

Agar kritik bermanfaat, kita tidak boleh puas dengan kritik bersifat umum. Misalnya kritik berupa ketidaksukaan terhadap sikap kita. Kita mesti menanyakan tentang sikap yang dimaksudkannya dan alasan tidak menyukai sikap itu. Pertanyaan bukan untuk menantang, tetapi untuk memastikan kritik itu memang patut atau cuma reaksi berlebihan.

Ketika mendengarkan kritik, umumnya orang mempertahankan diri, khususnya bila kritik itu tidak adil. Tapi sikap ini justru akan memperburuk keadaan, karena serangan kritik justru semakin gencar. Karenanya, mula-mula kita coba menyetujui kritik itu, tak peduli kritik itu benar atau salah. Dengan cara ini pengkritik lebih tenang dan lebih terbuka berkomunikasi. Dengan demikian hal yang dikritikkan dapat dibicarakan dengan tenang.

Jika kritik disampaikan dengan kasar dan penuh rasa permusuhan. Sebaiknya kita pusatkan pada isinya, bukan cara penyampaiannya. Jika isinya bermanfaat, jangan sia-siakan. Janganlah menolak suatu pengamatan yang bagus, hanya karena penyampaiannya kurang menyenangkan!

Apabila kritik bersumber dari orangtua, guru, atasan, atau pejabat berwenang, sebaiknya kita waspada. Tanpa disadari kita justru mengundang koreksi pedas. Karenanya, jika atasan mengkritik kelalaian kita, sebaiknya kita segera menanggapinya dengan perbaikan. Bila tidak, bisa-bisa ia akan mengambil langkah-langkah drastis yang lebih tidak kita harapkan.

Nah, kalau selama ini belum pernah mendapat kritik, sebaiknya bersiap-siaplah menerimanya. Ketika kritik itu datang, lebih baik berusaha mengambil manfaatnya ketimbang merasa terganggu atau sakit hati. (AK/dari berbagai sumber - red)

“Orang yang memberi saya, mengajarkan saya untuk memberi”